Mila kula anganggit sêrat punika, supados kawontênanipun têtuwuhan tuwin oyod-oyodan ingkang kathah paedahipun, sagêda kasumêrêpan ing akathah, dene ingkang kula wastani têtuwuhan wau kathah ingkang kaanggêp rêrungkudan kemawon, inggih lêrês ngantos sapriki jampi Jawi sampun kangge, ananging kadospundi kanggenipun sarta rekanipun angangge jampi wau, makatên ugi namanipun tanêman ingkang kangge jampi asring kadamêl wados, mila pangupadosipun katêrangan bab jampi-jampi Jawi asring botên sagêd kadugèn, sarta kawruh bab jampi-jampi wau asring ical sarêng ingkang gadhah kawruh wau tilar ing donya, awit kawruhipun dipun damêl wados.

Sabtu, 02 Juli 2011

ACARAKI - ACRAKI - CRAKI - CRAKEN

ACARAKI - ACRAKI - CRAKI - CRAKEN


http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d3/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Vrouwen_tijdens_de_bereiding_van_jamu_een_traditioneel_geneesmiddel_op_de_markt_te_Jogjakarta_TMnr_60027047.jpg

Foto kolèksi Tropenmuseum (1910-1930).
Vrouwen tijdens de bereiding van jamu, 
een traditioneel geneesmiddel, 
op de markt te Jogjakarta.

http://www.tropenmuseum.nl/TM_Config_V2/images/tropenmuseum-logo.gif

Zelfmedicatie is en was een belangrijk onderdeel van het gedrag rond ziekte en gezondheid van de bevolking van de Indische Archipel. Het maakt onderdeel uit van het complex dat we doorgaans met de term traditionele geneeskunst aanduiden. Bij de zelfmedicatie zijn kruidendrankjes (djamoe, nu jamu) van grote betekenis. Sommige mensen bereiden deze drankjes zelf, maar doorgaans komt er een in kruiden gespecialiseerde dukun (traditionele genezer, vaak vrouwelijk) aan te pas. Jamu wordt tegenwoordig ook fabrieksmatig klaargemaakt, met als curieus voorbeeld het merk 'Njonja Meneer', dat trouwens al in de koloniale tijd bestond. (P. Boomgaard, 2001).

Sumber


Bila kita ingin mengkaji sejauh mana manfaat dari Jamu Tradisional Indonesia, sepertinya akan menghabiskan bab demi bab yang begitu banyak mengurai bahan-bahan alami jamu yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan yang ada di Indonesia. Apalagi pengetahuan tentang pengobatan tradisional dengan jamu, sudah dikenal sejak periode kerajaan Hindu-Jawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya Prasasti Madhawapura dari jaman Majapahit yang menyebut adanya tukang meramu jamu yang disebut Acaraki. Pada relief Candi Borobudur sekitar tahun 800 – 900 Masehi, juga menggambarkan adanya kegiatan membuat jamu.
http://health.kompas.com/read/2011/04/06/06330034/Saatnya.Melirik.Jamu.Tradisional

Jamu wis dadi tradisi atusan malah éwonan taun kepungkur.[2] Tradisi ngracik lan ngombé jamu wis dadi budaya nalika jaman krajan Hindhu-Jawa.[2] Prastawa iki kabuktékaké kanthi Prasasti Madhawapura ing jaman Majapahit.[2] Ing Prasasti Madhawapura katulis yén jaman semana ana profési utawa pagawéan tukang ngracik jamu kang diarani Acaraki.[2]


The origin of Jamu is obscure. No one really knows its source. However, popular stories link first Jamu to seventeenth century Mataram Hindu Empire, where ladies of the palace who rather preoccupied with keeping themselves young and beautiful for their husband undertook the preparation of Jamu and herbal cosmetics. And Madhawapura's Inscription from Majapahit Empire tells us about Jamu maker that call as Acaraki. This tradition was being flourished in the palace of Jogjakarta and Solo princes, those become main reference for manufacturers Jamu in Indonesia. But until the early of 20th century, this tradition is still exclusively, only aristocrat communities doing this. Since 1910, Tan Swan Nio and Siem Tjiang Nio hold Djamoe Industrie en Chemicalen Handel IBOE Tjap 2 Njonja in Surabaya to produce Jamu for common people. And history of modern Jamu has begun.

Jamu are the unique herbal remedies, which evidently potent to cure anything for many centuries. Javanese calls Jamu for herbal remedies, without chemist material as additive. Jamu has traditional connotation, because Jamu is ancient tradition, before modern pharmacology comes in Indonesia. Some formulas have a hundred years old and are used until now. Dukun or tabib , a traditional doctor has been introducing this mention in ancient era. From them, drinking Jamu tradition has been popular in common people. And now, almost 80% of Indonesian people ever consume Jamu. For Indonesian people, Jamu is very popular as milk popularity for western. The origin of Jamu is obscure. No one really knows its source. However, popular stories link first Jamu to seventeenth century Mataram Hindu Empire, where ladies of the palace who rather preoccupied with keeping themselves young and beautiful for their husband undertook the preparation of Jamu and herbal cosmetics. And Madhawapura's Inscription from Majapahit Empire tells us about Jamu maker that call as Acaraki. This tradition was being flourished in the palace of Jogjakarta and Solo princes, those become main reference for manufacturers Jamu in Indonesia. But until the early of 20th century, this tradition is still exclusively, only aristocrat communities doing this. Since 1910, Tan Swan Nio and Siem Tjiang Nio hold Djamoe Industrie en Chemicalen Handel IBOE Tjap 2 Njonja in Surabaya to produce Jamu for common people.

1910
Tan Swan Nio dan Siem Tjiong Nio, mulai melakukan proses manufaktur Jamu dengan mendirikan Djamoe Industrie en Chemicalen Handel "IBOE" Tjap 2 Njonja di Jalan Ngaglik 3-5 Surabaya. Djamoe Industrie en Chemicalien Handel "IBOE" Tjap 2 Njonja makin berkembang. Semakin terkenal setelah mampu menyembuhkan dan memberantas epidemi 'batuk' di Surabaya. Skala perusahaan makin besar, dan rekrutmen tenaga kerja dari luar makin banyak. 
PT Jamu Iboe Jaya, didirikan pada tahun 1910 oleh Tan Swan Nio dan putrinya, Siem Tjiong Nio, di Surabaya, pada waktu itu bernama Djamoe Industrie en Chemicalen Handel "IBOE" Tjap 2 Njonja. Sejak 1973 perusahaan ini menggunakan nama PT Jamu Iboe Jaya.
Pada 1980 PT Jamu Iboe Jaya mendirikan PT IBOE Sativa Camilind untuk memproduksi jamu dengan bentuk alternatif. Seiring dengan perkembangan perusahaan, PT Jamu Iboe Jaya merelokasi pabrik dan perkantorannya ke desa Tanjungsari, Taman, Sidoarjo. Di lokasi seluas 2,38 ha, perusahaan jamu tertua ini melakukan proses produksinya sampai sekarang.
Jamu Jago di dirikan pada tahun 1918 dengan seorang tokoh bernama TK Suprana dari Wonogiri Jawa Tengah. Jamu Jago sudah bertempur dalam industri kesehatan selama 4 generasi dan sekarang di kepalai oleh; Ivana Suprana (Direktur Utama Jamu Jago. Arya Suprana (Direktur Utama Degepharm), Tatum Suprana (Direktur Human Resource), Andoyo (Direktur Keuangan) dan Vincent Suprana (Product Manager Coordinator).
Pada tahun 1919 atas dorongan keluarga berdirilah Jamu Cap Potret Nyonya Meneer yang kemudian menjadi cikal bakal salah satu industri jamu terbesar di Indonesia. Selain mendirikan pabrik Ny Meneer juga membuka toko di Jalan Pedamaran 92, Semarang. Perusahaan keluarga ini terus berkembang dengan bantuan anak-anaknya yang mulai besar.
 Jamu Air Mancur didirikan pada 1963 oleh 3 sekawan Kimun Ongkosandjojo alias (Ong Kiem Oen), Wonosantoso, and Hindrotanojo (semuanya sudah almarhum). Sampai sekarang, kepemilikan saham PT Jamu Air Mancur masih dikuasai oleh generasi kedua dan ketiga 3 sekawan tersebut. Namun, sejak 1991 pengelolaan perusahaan ini telah diserahkan kepada para professional, bukan lagi oleh para anggota keluarga.




 crakèn

  • kn. 1 adon-adoning jamu kayata mrica, pala lsp; 2 bakul ut. dodol adon-adoning jamu; 
  • bahan obat-obatan; penjual bahan obat-obatan
  • kc. craki.

 craki

  • kn. bakul dodolan crakèn; 
  • penjual bahan obat-obatan
  • kaya Cina craki: gêmi bangêt, cêthil bangêt, petung bangêt.




Kegiatan Perdagangan Pantai Utara Jawa


Richadiana Kadarisman Kartakusuma

Manggala

       Data perdagangan dalam prasasti secara khusus terdapat pada prasasti-prasasti yang bertema sima termuat pada kelompok yang disebut drawya haji. Suatu kelompok yang terdiri dari golongan abdi dalem, pejabat-pejabat dari berbagai kategori dengan kata lain kelompok atau golongan yang hidup dan menghidupi kas kerajaan. Di dalam kelompok itu disebutkan kelompok petugas pajak dengan berbagai keterangan tentang jenis-jenis dan jumlah benda-benda yang secara garis besar terdiri dari hasil bumi (pertanian), pajak tanah dan pajak perdagangan. Khusus pajak perdagangan disebut samwyawahara dan pajak usaha kerajinan yang disebut misra-paramisra.

       Jawa Timur berada dalam kesatuan mandala kekuasaan dengan Jawa Tengah (tidak terpisah) sebagai kekuatan politik kerajaan Mataram Kuno namun sejak Pu Sindok memerintah pusat kekuatan politik yang semula berada di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur seperti tercatat dalam prasasti Anjuk Ladang 915 (OJO XLVI) dan prasasti Paradah (OJO XLVIII) “...kita prasiddha maňrakşa kađatwan rahyaŋ ta i mđaŋ i bhūmi matarâm i watu galuh...” (...pusat kerajaan Mataram yang semula berada di Mdang kini berada di Watugaluh). Watugaluh adalah desa kecil di delta sungai Brantas, kecamatan Tembelang, kabupaten Jombang (Krom 1931:206; cf. Boechari l976:1-3). Edi Sedyawati (1990: 343) menyebut pemerintahan Mataram Kuno Jawa Timur sebagai Mataram Awal (I) Jawa Timur. Pu Sindok layaknya Nararyya Wijaya (Raden Wijaya) adalah juga ”The Founder” pendiri wangsa baru yang disebut Dinasti Isana. Selanjutnya secara turun-temurun memerintah Mataram Kuna dengan pusat kekuasaan di Jawa Timur hingga masa Airlangga (di dalam prasasti Calcutta/Pucangan mengaku keturunan Isana). Selain alasan peristiwa bencana alam (letusan gunung), pindahnya pusat kekuasaan ke Jawa Timur karena pantai utara Jawa Timur mencapai puncak perkembangan perdagangan Nusantara.

Komoditi Perdagangan

      Data mengenai aktivitas perdagangan dalam prasasti biasanya dikaitkan dengan pengaturan mengenai batas barang-barang yang tidak dikenai pajak dan yang dikenai pajak. Dalam hubungan ini jika barang yang dijual tidak melebihi ketentuan maka petugas pajak tidak diperbolehkan untuk memungutnya (tan kna de sang mangilala drawya haji) dan pajak hanya dikenakan atas kelebihan barang. Jumlah terbanyak yang termasuk ke dalam golongan mangilala drawya haji ditemukan dalam prasasti Cane walau tidak seluruhnya merupakan pedagang melainkan terdiri dari berbagai profesi.

       Istilah-istilah yang terdapat dalam prasasti secara langsung menunjuk kepada kegiatan perdagangan adalah tuha dagang atau juru dagang yaitu ketua/pengawas para pedagang. Istilah yang merujuk kepada profesi jual-beli disebut hadagang, banyaga atau awalija. Kendati tidak selalu disebutkan di dalam seluruh prasasti namun jenis-jenis barang yang diperdagangkan kerap dihantar atau dahului kata wli (beli) termasuk besar pajak yang ditentukan. Di samping berbagai jenis barang dagangan, juga kelompok yang melakukan usaha pelayanan, khususnya pelayanan angkutan dengan menggunakan tenaga hewan seperti atitih (kuda), juga alat angkut lainnya seperti gulungan (gerobag), mapadati (pedati) dan parahu (perahu). Sedangkan komoditi perdagangan adalah hasil karya undhagi/undahagi, dalam bahasa Indonesia sebagai undagi kerap rancu dengan pengertian pertukangan atau tukang kayu namun pengertian sesungguhnya tidak demikian sederhana. Istilah undhagi/ undahagi selain untuk menyebut tukang kayu, juga merujuk kepada tukang bangunan dan lainnya. Lebih tegas lagi undhagi/ undahagi adalah ahli yang memiliki keterampilan membuat segala benda kebutuhan sehari-hari terutama peralatan termasuk benda-benda yang berkaitan dengan mata pencaharian sebagian hasilnya diperdagangkan dan bukan tidak mungkin sekaligus sebagai pedagang juga. Karenanya undhagi/undahagi dikenai pajak baik hasil kerjanya maupun peralatannya. Termasuk undhagi/undahagi adalah tukang emas, tukang perak, tulang permata dan lain-lain yang sering diberi sebutan pande atau pandai.

      Memang, tidak setiap prasasti menuliskan aktivitas perdagangan, antara lain prasasti Biluluk II (1391) “..asambewara sarwwa papat hadagang, hamahat ... hamalanten hamdel hamuter hanglaksa hangapu ... palalanjer luputing titiban sahang, cabe kemukus kapulaga besi kawali besi pinggan kapas ...” (... berdagang serba empat: pedagang, pemahat, tukang kain halus, pembuat celup berwarna biru, pembuat minyak yang menggunakan gilingan/ hamuter, pembuat laksa, penjual kapur... termasuk hasil bumi yang diperjual-belikan seperti merica, cabe, kemenyan, kapulaga, besi, kuwali besi, pinggan kapas...). Tiap-tiap prasasti memiliki istilah-istilah menyebut jenis barang dagangan yang sama sejalan perkembangan dan pengenalan bahasa periode yang diwakilinya namu pada dasarnya berkaitan dengan ketentuan pajak.

       Secara garis besar barang-barang yang diperdagangkan terdapat tidak kurang dari 31 macam dan tidak berati bahwa setiap pedagang menjual secara khusus satu jenis barang dagangan. Daftar jenis barang tersebut dapat dikelompokkan ke dalam:

a) jenis makanan dan bumbu-bumbuan dan pangan
b) jenis sandang
c) jenis perlengkapan umum, dan
d) hewan (ternak).

       Jenis makanan dan bumbu-bumbuan meliputi bawang (bawang), bras (beras), garam/wuyah (garam), gula (gula), inga (minyak), pipakan/kapulaga (jahe/ tanaman jahe), wwahan (buah-buahan), pucang (pinang), sireh/sirih (sirih) pja (ikan laut), acaraki (jamu), abakul gereh (penjual ikal asin), jurungan (minyak jarak), kletik (minyak kletik), manggula (pembuat gula), tpung kawung (tepung aren), wli tamba (penjual obat/ramuan/jamu, [h/ang-]laksa (pembuat makanan laksa), pamadamadan (penjual madat?) dalam lontar Adigama padanananya amahat berkenaan dengan penyadap enau, pohon kelapa atau pembuat tuak, heuma (berbagai sajen).

      Jenis sandang seperti wasana (busana [bahan] pakaian), amahang/ kasumbha (bahan pewarna), kapas, lawe (benang). Jenis perlengkapan umum meliputi galuhan (permata), gangsa (perunggu), anganyam (keranjang), labeh (kulit penyu), makacapuri (kotak sirih, cerana), mangawari (permata atau perhiasan?), pamanikan (penjual permata), maniga (pembuat perhiasan dari permata), pawdihan (pembuat kain, penenun?), amanganten (pembuat kain halus), pobaran (pembuat soga/kain), manglakha (pembuat celup). Salah satu contoh yang paling jelas termuat dalam prasasti Madhawapura: “...wahara drawya sang hyang dharmma ri madhawapura, hininganan kweh kdiknya an nikang tigang kabayan ri sasambya-wahara, abhasana tigang dasar, angawali tigang dasar,... dst. (berdagang dan pedagang adalah milik bangunan suci di Madhawapura maka seluruh peraturan pajak dan jumlahnya ditentukan olehnya, penjual pakaian hanya boleh 3 dasar, penjual kuali 3 dasar...dst).

       Perlengkapan umum yang dipergunakan sehari-hari adalah barang-barang yang dibuat dari hasil pertukangan (undhahagi). Temasuk apande salwirning pande (pembuat benda-benda logam hasil tempa seperti apandai wsi (pandai besi), apandai dadap (pandai tameng), apandai mas (pandai mas), apandai salaka (pandai perak), apandai tamra (pandai tembaga), apandai singyasingyan (pandai benda-benda tajam), kangsi (gamelan dari kuningan) yang seluruhnya termasuk drawya haji saparanaya dwal-awli (pajak raja tentang jual beli). Juga amaranggi (pembuat benda-benda kayu yang diukir?), wli panjut (penjual obor/clupak/teplok), masayang (peralatan dari tembaga), tambra (lempeng tembaga), timah, wsi (besi), angawali (pembuat kuali). Pengrajin yang menjual hasil pekerjaannya seperti andyun (pembuat tempayan), angendi (pembuat kendi), angapus (pembuat benang/ tali), anghapu (pembuat kapur), anghanyam-hanyam/agawai kisi/agawai runggi (pembuat anyaman: keranjang), ahareng (pembuat arang), magawai payung (pembuat payung), pabata (pembuat bata), angrajut (pembuat jala), mopih (daun rokok klinting), pawlit (atap alang-alang), sikpan (hulu pedang), watu tajem (asah pisau), limus galuh (kamasan perak), lancang (perahu), palamak (lemak), wli wadung (kapak), lancang (pembuat perahu), dang (peralatan memasak).

       Jenis ternak meliputi sapi, wdus (kambing) dan celeng (babi) weuk (babi hutan), kebo/hadangan (kerbau), kidang (kijang), warai (kera). Dan jenis unggas terdiri dari hangsa (angsa), hayam (ayam) terutama andah (itik). Diluar itu ada juga kaluang (kalong), alap-alap. Ikan yang dikenal meliputi hayuyu (kepiting sungai), hurang (udang), wagalan, kawan-kawan, dlag (jenis-jenis ikan air tawar), gtam (keping laut), hnus (cumi), iwak knas (kerang), kadiwas, layar-layar, prang, tanggiri, rumahan, slar dan kura-kura (jenis-jenis ikan laut) dan lain-lain.

      Beberapa sumber prasasti menyebut makanan yang diawetkan bagi persediaan dan komoditi perdagangan lokal adalah deng (dendeng), asin-asin (diasinkan). Bahwa jenis-jenis barang yang diproduksi untuk kebutuhan sehari hari juga diperjualbelikan sebagai barang dagangan mungkin dapat mengacu kepada beberapa prasasti bertema sima abad ke 10, walaupun prasasti tersebut berasal dari Mataram kuno Jawa Tengah (Dyah Balitung) namun seluruhnya ditemukan di Jawa Timur antara lain prasasti Sangsang (907) “..yang pangulang kbo ya ruang puluh kboannya sapi patangpuluh wdus wuangpuluh andah sawantayan....” ketentuan jumlah hewan ternak yang dikenai pajak bila penjualan dilakukan di wilayah sima, sedangkan ikan dijual dinyatakan dengan jamwangan.

      Sumber tertulis maupun data arkeologi (relief candi) memperlihatkan bahwa telah banyak bahan makanan yang dikenal masa itu, yakni beras, umbi-umbian (ubi, talas), cabe, labu, kacang-kacangan, rempah-rempah (jahe, jamuju, sirih, kapulaga), buah-buahan (durian, rambutan, manggis, jerus, kecapi/sentul, sukun, langsat, jamblang, salak, nangka, jambu bol, wuni, mangga, pisang) dan jenis palem (kelapa). Di antara bahan pangan nabati yang utama adalah beras yang merupakan bahan pokok utama. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai prasasti Sima merupakan peristiwa terpenting dalam kehidupan kerajaan mencantumkan skul diolah dengan berbagai variasinya terutama skul paripurna (tumpeng) sebagai sajian paling utama dan sakral. Prasasti menyebutkan berbagai jenis minuman yang dikonsumsi dari beras dan tumbuh-tumbuhan yang diolah proses fermentasi, sekurang-kurangnya dikenal tujuh jenis minuman.

     Disebutkan barang-barang tersebut diangkut dan diperdagangkan dengan alat-alat tertentu tetapi ditetapkan dengan jumlah tertentu baik jumlah barang maupun alat pengangkutnya. Khusus hewan ternak ditetapkan berdasarkan jumlah saat digembalakan oleh si penggembala misalnya kerbau tidak boleh lebih dari 20 ekor, sapi 10 ekor, kambing 80 ekor, celeng 2 gerombolan, itik 2 wantayan (kandang, sangkar). Dalam hal ini barangkali keterangan prasasti Madhawapura dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bahwa pada hari pasar pedagang pakaian hanya diperbolehkan mengisi 3 dasar (lahan), perahu tundan (perahu yang diberi atap) yang berdagang ke hilir hanya diperkenankan tiga kabayan, pedagang gereh tiga kabayan, yang berjualan dengan kereta (sarathi) juga tiga kabayan. Besar kemungkinan keterangan tentang jumlah tersebut ditentukan sehubungan kepada besar kecilnya tempat (lahan pasar?) untuk berjualan menyangkut ketertiban masyarakat setempat, bagaimana dengan lahan lebih besar belum diketahui (?). Sekurang-kurangnya barang-barang produksi terdiri dari bahan makanan, pakaian dan jenis perhiasan, peralatan rumah tangga, alat kerja dan barang-barang unik?.

     Selain ketentuan barang yang berkait dengan pajak, variabel penting lainnya yang berkait langsung dengan perdagangan adalah satuan berat dan jumlah dan mata uang. Untuk satuan berat yang dikenal dalam prasasti adalah catu, sukat, kulak, batang, nalih, pikul, bantal, kati dan jung. Catu diukur dari batok kelapa yang dipotong bagian atas-nya dipergunakan mengukur beras, rempah-rempah, garam, minyak dan bahan pewarna. Satuan sukat atau kulak sama dengan 4 catu sedangkan istilah batang diperkirakan batang bambu yang digunakan untuk menakar jenis cair. Selanjutnya ukuran banyaknya dipersamakan dengan 8 kulat (sukat). Ukuran-ukuran tersebut digunakan secara umum dalam aktivitas perdagangan internasional karena berita Cina menerangkan satuan disebut nai-li sebagai salah satu sistem pengukuran yang dipakai di Jawa masa itu hingga abad ke 15.

     Kati merupakan satuan berat digunakan mengukur berbagai barang termasuk menghitung uang dalam sistem moneter. Ukuran berat satu kati sama dengan 750 gram sebagai satuan hitung dasar, kati tidak sekedar digunakan di Nusantara juga di Malaysia hingga sekarang. Ada juga satuan tahil yang diperkirakan sama dengan 38 gram atau seperduapuluh tahil maka satu tahil sama dengan 20 tahil. Satuan yang lebih berat untuk mengukur barang-barang terutama yang dibebankan di atas pundak diistilahkan dengan bantal yang ukurannya sama dengan 20 tahil lebih berat lagi adalah pikul yang sama dengan lima kali bantal atau 100 kati atau sekitar 75 kg.

      Mengukur intrinsik mata uang, sejauh yang diceritakan prasasti ada yang terbuat dari logam emas dan perak dengan satuan yang disebut suwarna (emas) dan dharana (perak). Sejalan artikatanya suwarna (= emas) dan dharana (= perak) keduanya merupakan istilah dari kosakata bahasa Sanskerta. Ukuran emas dan perak dengan bobot 2,4 gram sama dengan 1/16 tahil/ suwarna/ dharana sedangkan satuan lainnya yang lebih kecil adalah atak (=1,2 gram) kerap disebut ½ masa, kupang bernilai 0,6 gram (=¼ masa;) dan saga. Majapahit mengenal picis untuk istilah mata uang tembaga yang diperkirakan pengaruh Cina sebagai ukuran terendah untuk membayar pajak dan denda-denda khusus. 100 picis (=1 kupang/ sakupang), 200 picis (=1 atak/satak), 400 picis (1 masa/ samasa) dan 800 picis (2 masa/domas), 1000 picis (1 tali,), 10.000 picis (1 laksa/salaksa) 100.000 picis (=satu keti /saketi) .

      Prasasti dan sumber tertulis lainnya sedikit memberi keterangan tentang aktifitas produksi yang dilakukan pada masa lalu, Jikalau ada, keterangan itu lebih didasarkan atas penafsiran dari barang-barang produksi yang tampak pada prasasti maupun relief candi dan data arkeologi lainnya. Meskipun secara garis besar jenis hasil produksi dapat dikelompokan ke dalam kategori bahan makanan, pakaian dan perhiasan, peralatan rumah tangga, alat kerja dan mungkin barang-barang langka (dari pedagang asing). Karena dalam salah satu prasasti masa Majapahit (Madhawapura) disebut beberapa benda yang dipakai raja seperti payung dari kain sutra putih (amagot payung pinghe) dan diketahui sutra merupakan produksi dari Cina dan satwa langka.

       Pakaian atau bahan pakaian umumnya berupa kain lepas dinyatakan dengan wdihan (biasanya untuk laki-laki) dinyatakan istilah dengan sayugala (sepasang) dan untuk perempuan adalah kain/ken yang dinyatakan dengan sawlah (sebelah) dengan aneka jenis dan coraknya. Berdasarkan prasasti terdapat 11 jenis kain. Juga perhiasan terutama sisim (cincin) dengan motif prasada atau berpahatkan tulisan sri atau sramana, hiasan cakra dan kumbha yang umum ditemukan merujuk semacam “cincin stempel”. Kalung , pelbagai batu mulia untuk perhiasan erat kaitannya dengan para pandai (pandai mas, pandai salaka) sekaligus pengrajin (limus galuh, pamanikan, mangrumban). Juga barang-barang yang memiliki nilai jual cukup tinggi di pasaran internasional seperti gandharusa (myrrh) kemenyan (frankincence), kayu cendana dan rotan termasuk komoditi (ekspor), dan hewan (yang “dianggap” langka waktu itu) seperti burung kakak tua, dan badak (cula).

       Peralatan rumah tangga yang dijual sebagian besar dihasilkan oleh kelompok pengrajin dan para pandai logam, pengrajin gerabah dan undahagi, penganyam khususnya jenis wadah. Prasasti menyebut dang, anyaman, saragi paganganan (seperangkat wadah untuk masakan berkuah), saragi pangliwetan (seperangkat wadah untuk memasak nasi), saragi inuman (seperangkat wadah untuk minum), padyussan (tempat mandi), talam (baki), buri (bejana), saragi pewakan (seperangkat wadah untuk memindang ikan). Demikian halnya peralatan kerja meliputi berbagai alat yang kerap dipakai istilah saprakaraning wsi atau wsi-wsi prakara (segala sesuatu benda yang terbuat dari besi) sebagian besar adalah alat-alat pertukangan tetapi juga membangun rumah, mengolah sawah ladang maupun untuk alat rumah tangga.

       Produksi perdagangan yang disebutkan dinyatakan dalam transaksi jual beli baik di pasar-pasar lokal (pkan) mengikuti sistem pertanggalan yang dilaksanakan lima hari dalam seminggu (pancawara: umanis, pahing, pwan/pon, wagai/wage, kaliwuan/ kaliwon) siklus yang berkaitan dengan sistem penataan desa-desa (panyatur dan pangasta desa) atau mancapat. Oleh orang Jawa disebut sepasar atau sepasaran dan yang paling ramai biasanya umanis.

Aktivitas Perdagangan

        Secara garis besar Jawa Timur tumbuh sebagai bagian dari jalur perdagangan internasional sangat terkait dengan kegiatan perkembangan perdagangan di kawasan Asia Tenggara pada umumnya. Namun alasan paling logis adalah kondisi geografis Jawa Timur yang sangat memadai terutama peranan kota-kota pantai yang secara integratif ditunjang aliran-aliran besar (mainstream) yang berfungsi menghubungkan daerah-daerah pedalaman dan kota-kota pantai dalam berbagai kegiatan. Beberapa aliran besar yang mempunyai fungsi integratif antara perdagangan, agama, politik, dan kebudayaan mendorong daerah-daerah ke arah integrasi aktivitas perdagangan adalah kekuasaan politik. Dikala itu selat Madura dan sekitarnya merupakan laut keluarga “The Familie Sea” , lalu lintas pelayaran dan perdagangan laut dan sekaligus menghubungkan bagian barat dan timur Nusantara. Jalur ini merupakan jalur simpang dari jalur pokok perdagangan laut tradisional yang membentang dari laut Jawa ke timur dan ternyata dipergunakan sebagai jalur perluasan kekuasaan politik, penyebaran agama dan kebudayaan.

      Di tepi jalur laut ini tumbuh kota-kota pantai bagian timur pulau Jawa a.l. Tuban, Sedayu, Gresik, [Pa]jaratan dan Surabaya. Di perairan Gresik jalur perdagangan laut dari barat membelah dua arah, pertama cabang jalur ke arah timur melalui pantai utara pulau Madura; sedangkan cabang jalur kedua menyeberangi selat Madura dan bertemu dengan cabang pertama selanjutnya mengarah ke timur menuju kepulauan Maluku dengan atau tanpa melewati pulau-pulau yang termasuk kawasan Sunda kecil itu (Nusa Tenggara). Bahkan, komunikasi kota-kota pantai di kawasan sekitar selat Madura sampai akhir abad ke 18 lebih mudah dilakukan melalui jalur laut daripada jalur darat.

      Jalur sungai sangat berperanan penting dalam mengembangkan kota-kota pantai kawasan ini serta menghubungkan daerah pedalaman dengan kota-kota pantai yang kemudian tumbuh sebagai bandar. Terlebih lagi di Jawa Timur terdapat dua sungai besar yakni Bengawan Solo dan Bangawas (Sungai Brantas) termasuk anak-anak sungainya pada musim pasang dapat dilayari oleh perahu-perahu merupakan jalur lalu lintas perdagangan cukup ramai. Dari segi ekonomi penguasaan politik daerah-daerah pantai di sekitar kawasan pantai utara Jawa Timur memiliki arti penguasaan sumber-sumber hasil (komoditi) baik berupa produksi agraris maupun maritim.

        Pada prakteknya, pihak pusat menuntut pengakuan kesetiaan berupa penyerahan upeti, pajak, dan tenaga disalurkan kepada wakil-wakil raja (Rakryan, Bhratara), sebagian digunakan sebagai penghasilan juga untuk menjalankan pemerintahan. Hubungan antara kota pantai dan pedalaman menunjukkan peranan saling mendukung seperti kesuburan tanah, sarana transportasi, komoditi dan lain sebagainya. Dijelaskan bahwa jerih payah kota [pantai] dirasakan oleh penduduk pedalaman (desa) distribusi barang barang “impor” keperluan hidup ditangani pihak [kota] pantai. Sebaliknya penyediaan barang-barang kerajinan seperti alat-alat pertanian, perkakas rumah tangga, barang pecah belah (alat-alat rumah tangga sehari-hari) dan sebagainya ditangani penduduk desa. Aktivitas perdagangan di masa lampau merupakan hubungan antara pedalaman pantai sebagai symbiotic relation – saling membutuhkan dan saling tergantung.

      Dari segi politis hubungan perdagangan sangat mungkin meluas hingga ke wilayah lebih timur yakni Bali seperti ternyata pada prasasti Buyan-Sanding-Tamblingan (l970); The Charter of Kapal (l977) dan Astasura- Ratna-Bhumi-Banten (l981) yang membuktikan kontak antara Jawa – Bali telah berlangsung sejak Mataram (Hindu) I Jawa Tengah. Jikalau Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya yang dapat dianggap sebagai the founder of Mataram (prasasti Gunung Wukir 732, Sragen abad ke-8 dan Mantyasih 907) itu pernah menaklukan Bali. Juga prasasti Kubu-Kubu (905) dari Rakai Watukura Dyah Balitung menyebutkan tentang penaklukan terhadap Bantan (sebutan halus [krama] dari Bali). Untuk kesekian kalinya pada tahun 1284 Jawa melakukan ekspedisi ke Bali (Krtanagara) disusul ekspedisi Gajah Mada tahun 1343. Suatu bukti bahwa Jawa-Bali telah demikian erat terjalin sejak masa Mataram awal. Penguasaan politis tersebut secara langsung juga penguasaan perdagangan oleh pihak Mataram, selain Madura daerah Nusa Tenggara lainnya khususnya Bali (Bantan).

        Para pedagang terdiri dari berbagai kelompok yakni pedagang setempat dan pedagang asing. Pedagang setempat adalah mereka yang berprofesi dagang menjadi warga masyarakat Jawa yang datang dari suatu desa atau kota tertentu dengan jangkauan wilayah dagang terbatas pada wilayahnya sendiri (pedagang lokal) sejumlah wilayah desa atau kota sekaligus (pedagang regional) hingga ke luar wilayah kerajaan (pedagang internasional). Prasasti menyebutkan pedagang asing yang berasal dari Daratan Asia, antara lain sumber tertua dari prasasti Kuti (804) menyebut nama-nama pedagang asing dari negeri Cempa (Champa), Kling (Keling-India?) Haryya (Arya), Singhala (?), Goda (Gauda/ Benggala), Cwalika, Malyala, Karnnake, Remon/ Ramman (Mon), dan Kmir (Khmer). Prasasti Kancana (860) menyebut adanya Juru Cina. Prasasti Kaladi (909) dan prasasti Palebuhan (927) muncul pedagang asing yang disebut Drawida dan Pandikira.

       Dari penyebutan namanya dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari pedagang asing tersebut berasal dari Asia Selatan dan Asia Timur (Champa dan Khmer) . Bahkan prasasti Cane (1012), prasasti Patakan menyebut Juru Keling yakni ketua orang-orang keling. Istilah ini telah ada sejak abad ke 10 yakni dalam prasasti Barsahan (910) sementara itu Dalam karya sastra Nagarakretagama (1365) disebutkan sejumlah besar kelompok pedagang asing yang juga turut hadir dan diundang pada pesta perayaan tahunan kerajaan Majapahit, mereka datang berkendaraan potra (perahu) diantaranya Siam (Syangka, Ayodhyapura, Dharmmanagari, Rajapura), Myamar (Marutma), Champa (Campa, Singha nagari), Annam, Kamboja (Yawana), India Utara (Jambhudwipa), India Timur (Goda), India Selatan (Kanchipura, Karnnataka) dan Cina.

        Berita Cina dari Ma Huan (1433) mencatat pelabuhan-pelabuhan utama pantai utara Jawa terdapat kelompok pedagang Islam dan pedagang Cina diantaranya ada yang berperan sebagai penguasa pelabuhan Tuban, Gresik, dan Surabaya. Tome Pires memberitakan bahwa pelabuhan-pelabuhan terpenting pantai utara Jawa dikuasai para pedagang Islam.

Sejumlah data prasasti menyiratkan pedagang setempat melakukan aktivitas dalam skala lokal menyediakan barang-barang kebutuhan yang cenderung tidak tahan lama. Pedagang dengan wilayah jangkauan desa menyediakan barang yang lebih tahan lama dan yang tidak selalu tersedia di setiap wilayah seperti garam, alat-alat rumah tangga (wadah-wadah tanah liat, alat-alat logam, dan perabot kayu) juga pakaian. Pedagang internasional terutama menjual barang-barang setempat atau dari tempat lain (diekspor lagi) yang memiliki nilai tinggi dan tidak dihasilkan atau tidak tersedia dalam jumlah mencukupi negeri yang hendak dituju (beras, pakaian, barang-barang, rempah-rempah, satwa [unik], mutiara, tumbuhan, obat-obatan). Pedagang yang melakukan aktifitas hingga ke luar wilayah kerajaan kembali dengan membawa barang-barang berkualitas tinggi yang banyak dibutuh-kan di negrinya yaitu Jawa.

        Disebutkan bahwa pedagang asing adalah pedagang warga negara asing yang melakukan aktivitas perdagangan ke wilayah Jawa. Kelompok pedagang asing terdiri dari mereka yang berasal dari wilayah kepulauan Nusantara dan yang berasal dari daratan Asia. Pedagang dari wilayah Nusantara umumnya tidak disebutkan secara eksplisit asal daerahnya namun kehadirannya dapat disimpulkan secara tidak langsung dari sumber-sumber prasasti. Antara lain prasasti berbahasa Melayu Kuno antara lain prasasti Gondosuli II (827) menyebutkan adanya seorang tokoh yang bergelar Dang Puhawang Glis. Puhawang artinya nakhoda atau kapten kapal dagang, ternyata abad ke 9 di kerajaan Mataram ada komunitas Malayu.

Jaringan Pedalaman dan Pantai

        Telah disebutkan bahwa peranan pedalaman (hinterland) bagi berkembangnya kota pantai turut menentukan. Dalam hubungan ini yang paling berperan adalah jalur-jalur baik jalur darat maupun jalur sungai yang memungkinkan terlaksananya hubungan antara daerah pedalaman dan kota, antara kota dan desa sekitarnya dan antara satu kota dengan kota lainnya.

      Jaringan yang dilalui kegiatan perdagangan Jawa Timur di masa lalu tidak secara nyata disebutkan melainkan ada jalur-jalur yang menghubungkan antara satu daerah pedalaman dengan daerah pedalaman lainnya hingga menuju ke pantai sebagaimana telah disebutkan dalam prasasti Kamalagyan . Dikukuhkannya desa Kamalagyan sebagai salah satu sima menunjukkan arti penting guna transportasi sehari -hari maupun kegiatan perdagangan. Desa Kamalagyan sebagai desa penting untuk perdagangan (karena letaknya di tepi sungai Brantas) masih disebut di dalam prasasti Waringin Pitu (l447) juga sebaliknya. Di dalam prasasti Waringin Pitu, desa Kamalagyan disebut diantara desa Sarba (Serbo), Beron (Beron), Panumbangan (Penambangan), Sadang (Sadang), Pakambingan (Kambing), Kamalagen (Klagen), sebaliknya prasasti Kamalagyan menyebut Waringin Pitu diantara desa-desa lainnya dengan istilah Waringin Sapta. Sampai sekarang desa ini masih bernama Wringinpitu terletak di tepi selatan sungai Brantas dekat Krian-Sidoarjo. Prasasti Kamalagyan 1037 (Airlangga) melukiskan “betapa para nakhoda dan pedagang yang datang dari berbagai Nusantara (para puhawang para-banyaga sangka ring dwipantara...) sangat sukacita tatkala sungai Brantas diperbaiki dan dapat dilayari hingga menuju Hujung Galuh”. Desa Kamalagyan kini adalah Klagen terletak di tepi timur Kali Brantas. Jikalau kedua desa ini disebutkan pada masa Majapahit maka dapat dikatakan Waringin Pitu dan Klagen merupakan daerah terpenting selama berabad-abad sebagai daerah-daerah yang langsung berkait dengan aktivitas perdagangan, terutama sebagai jalur transportasi air dari pedalaman ke kota pantai. Namun sekurang-kurangnya kedua prasasti itu merupakan peluang guna menelusuri jalan perdagangan (transportasi) menuju Hujung Galuh.

       Tumbuhnya kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa bagian timur cukup menunjukkan bahwa kegiatan politik, budaya maupun perdagangan laut lebih banyak berlangsung kawasan Jawa Timur. Beberapa sumber lebih muda seperti kidung Harsawijaya dan Pararaton menyebut pengiriman ekspedisi kerajaan Singhasari ke tanah Malayu berangkat dari bandar (pelabuhan) Tuban, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1275. Senada dengan berita Cina dari dinasti Yuan di dalam hubungan dengan pengiriman ekspedisi militer ke Jawa Timur pada abad ke-13 menyebutkan bandar-banda penting di Jawa Timur (Tuban dan Canggu).

        Catatan perjalanan Tome Pires pada dasa warsa ke dua abad ke 15-16 menyebut serentetan bandar-bandar penting sepanjang pantai utara Jawa a.l. Cheroboan (Cirebon), Locarj (Losari), Tetegual (Tegal), Cedayu (Sedayu), Agaciy (Gresik), Curubaya (Surabaya), Gamda (Garuda), Pajarujam (Pajarakan) dan Panarunca (panarukan). Peran Selat Madura dalam perdagangan laut Jawa Timur tidak dapat dilepaskan sebagai “The Familie Sea” .

        Perlu diterangkan bahwa kondisi alam daerah pedalaman yang sangat subur ini sangat membantu perkembangan bandar-bandar terutama lembah sepanjang Bengawan Sala sebagai penghasil beras dan hasil bumi lainnya yang melimpah, sehingga mampu menjadi barang dagang ekspor. Juga sepanjang pegunungan Kendeng yang membentang dari barat ke timur merupakan hutan kayu jati yang lebat dan berkualitas, produksi ini dikirim ke Tuban, Gresik dan Surabaya. Tatkala jalan darat yang menghubungkan daerah masih dalam kondisi belum memadai maka jalur sungai lebih mudah dilalui dan Bengawan Sala sangat berperan sebagai jalur utama mengangkut komoditi perdagangan hingga ke ujung pelabuhan (hujunggaluh).

       Berita asing (VOC) pernah melacak jalur perdagangan penting yang menghubungkan pantai utara Jawa dengan daerah pedalaman yang berperan sebagai feeder point ataupun yang pernah diperkirakan pernah menghasilkan komoditi perdagangan. Dari Klagen ke arah timur terdapat sungai Purboyo yang bersebarangan dengan desa Seketi Kidul, selanjutnya desa Guyangan, Kepuhsari dan Gagang yang terletak kurang lebih 1.3 km dari selatan Wringin Pitu. Lebih ke timur terletak Waru Beron (1 km sebelah baratdaya Wringin Pitu) kemudian menuju selatan melalui desa Segodo Ageng (prasasti: Lagada).

        Sementara dari arah utara memasuki Surabaya berturut-turut melewati Prambon, Sedayu, Bungah, Gresik– Surabaya – terus ke Wonokromo, Sidoarjo dan Porong. Menuju arah selatan masuk ke Pasuruan melewati Gempol, Bangil, Gempeng Bendungan, Kraton, - Pasuruan – Rajasa menuju Grati.
Selanjutnya ke timur memasuki Besuki dengan melalui Banyuanget, Mandingan, Bungatan, Panarukan, Situbondo menuju ke Sumberwaru. Jalan dari Sumberwaru ke Bujulmati agak sulit dilalui karena merupakan areal hutan tetapi Bujulmati adalah arah menuju Banyuwangi setelah melewati desa Watudodol.

Kegiatan Perdagangan Pantai Utara Jawa :
Sintesa Berdasarkan Data Sumber Tertulis



Tidak ada komentar:

Posting Komentar