Sejarah awal kenapa suatu tumbuhan digunakan sebagai obat adalah sulit untuk ditelusuri, tapi meskipun demikian ada pendapat bahwa suatu tumbuhan digunakan sebagai obat didasarkan pada tanda-tanda fisik (bentuk, warna, rasa) yang ada pada tumbuhan atau bagian tumbuhan tersebut, dan tanda-tanda tersebut diyakini berkaitan dengan tanda-tanda penyakit atau tanda-tanda penyebab penyakit yang akan diobatinya, misalnya organ tumbuhan berbentuk seperti tahi cacing (buah Chenopodium), maka tumbuhan itu digunakan sebagai obat cacing, akar Raulwolfia bentuknya seperti ular, maka secara tradisional digunakan sebagai obat digigit ular, rebung bambu kuning dipakai sebagai obat penyakit kuning, dan tumbuhan yang rasanya pahit dianggap bisa menetralkan kencing manis. Pengetahuan penggunaan tumbuhan tersebut sebagai obat disampaikan dari orang ke orang, kemudian dari keluarga ke keluarga, suku ke suku, generasi ke generasi dan akhirnya sampai era kita sekarang ini.
Bukti masa lalu yang berkaitan dengan adanya penggunaan bahan alam (terutama tumbuhan) sebagai obat terekam dalam berbagai dokumen seperti Huang Ti Nei Ching Su Wen (The Yellow Emperor's Medicine), Papyrus Smith, Papyrus Ebers, Ayurveda, yang ditulis pada masa jauh sebelum masehi, sementara itu di negeri kita sendiri, bukti adanya penggunaan bahan alam terutama tumbuhan sebagai obat pada masa lalu antara lain dapat ditemukan dalam naskah lama pada daun lontar "Husodo" (Jawa), "Usada" (Bali), "Lontarak pabbura" (Sulawesi Selatan), dan dokumen lain seperti Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang nDalem, dan juga pada dinding candi Borobudur dapat dilihat adanya relief tumbuhan yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya. Atau dari segi tokoh fitoterapi masa lalu kita kenal Hippocrates (459-370 SM), Dioscorides (40-80), Claudius Galeinus atau Galen (131-200 M), Ibnu Sina atau Avecena (980-1063 M).
Dari daftar obat esensial yang dilaporkan WHO, dapat dilihat bahwa obat yang diperoleh secara sintetik mencapai 48,9%, berasal dari berbagai bagian tumbuhan 11,1%, hasil sintesis parsial 9,5%, asal mineral 9,1%, asal hewan 8,7%, asal jasad renik 6,4%, berupa vaksin 4,3%, dan berupa serum 2%.
PERMASALAHAN OBAT SINTETIK
Adalah suatu kenyataan, bahwa zat berkhasiat yang digunakan di Indonesia dalam pengobatan formal umumnya merupakan senyawa sintetik, dan umumnya bahan tersebut masih diimport, dan adalah suatu kenyataan juga bahwa di Indonesia ada ("pernah ada") industri zat berkhasiat secara sintesis (misalnya parasetamol), tapi perkembangannya kurang menggembirakan karena tersaingi oleh produksi negara lain yang harganya lebih murah dan juga karena bahan bakunya masih import.
Pada umumnya hambatan dalam pengembangan produksi bahan baku (zat berkhasiat) secara sintesis antara lain adalah (a) belum berkembangnya industri hulu, terutama industri kimia dasar yang menunjang industri zat berkhasiat, (b) produksi skala ekonomis sulit dicapai karena kebutuhan pasar dalam negeri relatif kecil, (c) pasar internasional zat berkhasiat termasuk bahan pemulanya dikendalikan oleh beberapa perusahaan multinasional, (d) biaya investasi relatif besar, karena pembuatan zat berkhasiat umumnya merupakan proses yang panjang.
POTENSI PASAR PRODUK TUMBUHAN
Pada saat ini produk hayati terutama tumbuhan obat telah digunalan oleh berbagai lapisan masyarakat dunia baik di negara berkembang atupun negara maju, dan WHO memperkirakan bahwa 80 % penduduk negara berkembang masih mengadalkan pemeliharaan kesehatan pada pengobatan tradisional, dan 85 % pengobatan tradisional dalam prakteknya menggunakan atau melibatkan tumbuh-tumbuhan, dan sebagai bentuk kepeduliannya terhadap tumbuhan obat, WHO telah menerbitkan buku antara lain
WHO Guidelines for the assessment of the herbal medicine,
Quality control methods for medicinal plant material, WHO monographs on selected medicinal plants, dan pada buku yang ketiga memuat monografi tumbuhan obat yang setiap monografinya terdiri dari dua bagian yaitu (1) spesifikasi berkaitan dengan jaminan kualitas seperti ciri botani, distribusi, test identitas, kemurnian, penetapan kadar dan senyawa aktif atau kandungan utama (2) resume penggunaan klinik, farmakologi, kontraindikasi, peringatan, efek yang tidak diinginkan, dan dosis. Penerbitan ini bertujuan dapat dijadikan pedoman dalam penggunaan tumbuhan obat yang aman, bermanfaat dan berkualitas.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa dibanyak negara maju khususnya negara barat sejak tahun 1970an menunjukkan indikasi adanya kecenderungan peningkatan penggunaan tumbuhan sebagai obat dan kecenderungan ini dikenal sebagai Gelombang Hijau Baru (
New Green Wave) atau Trend Gaya Hidup Kembali ke Alam. Parameter yang menunjukkan tentang adanya hal tersebut adalah munculnya banyak toko "makanan kesehatan" di banyak negara barat yang menjual apa yang disebut
Herbal Tea.
Di Amerika Serikat, jumlah pengguna tumbuhan dan produk tumbuhan obat untuk dua sampai tiga dekade terakhir telah menjadi suatu fenomena yang luar biasa, yaitu telah menjadi suatu segmen pasar yang tumbuh sangat cepat. Hasil survey dilaporkan bahwa pada tahun 1994 pasar ini mencapai omset US $ 1,6 Milyard, kemudian tahun 1996, dilaporkan sekitar 30 % orang Amerika Serikat dewasa (sekitar 60 juta orang) menggunakan produk tumbuhan obat, dengan uang yang dikeluarkan diperkirakan mencapai US $ 3,24 Milyard, dan perdagangan tahun berikutnya (1997) dilaporkan mencapai US $ 5,1 Milyard, sementara itu, dan laporan awal tahun 2000an menginformasikan bahwa perdagangan tumbuhan obat dan obat alternatif lainnya untuk tahun 2001 mencapai US $ 40 Milyard. Adanya pertumbuhan yang tinggi dalam perdagangan produk tumbuhan dan potensinya untuk menghasilkan keuntungan yang besar dalam perdagangan tersebut, serta adanya perubahan sosial masyarakat amerika yang berupa pandangan positif terhadap produk obat alami telah menarik industri perbankkan untuk membantu investasi finansial dalam bisnis sektor ini. Dari segi kebijakan hal inipun telah mendorong usaha pengaturan yang harus dilakukan untuk evaluasi kualitas, keamanan, manfaat terapi dan pedoman klinik dari produk tumbuhan sehingga pemakaiannya dapat dipertanggung jawabkan.
Di USA obat dari tumbuhan ini disebut
herbal drug, herbal medicine, phytomedicine atau
herb/herbal. Dari segi pengaturannya dapat digolongkan
pertama kedalam suplemen makanan
(food supplement) atau suplemen diet
(dietary supplement) yang diatur dengan
Dietary Supplement Health and Education Act (DSHEA) tahun 1994, atau
kedua dapat dimasukan kedalam golongan obat yang diatur dengan
Federal Food, Drug and Cosmetic Act.. Jika dimasukan dalam status sebagai suplemen makanan atau diet, maka produk
tidak boleh diclaim sebagai obat atau menggunakan pernyataan "terapeutik" beserta implikasinya, seperti sebagai bahan untuk diagnosis, penyembuhan atau pencegahan penyakit.
Produk tumbuhan untuk masuk dalam status obat di Amerika Serikat relatif sulit, pada dasarnya FDA menghendaki perlakuannya sama dengan untuk obat baru, padahal jika disamakan dengan obat baru, maka untuk setiap obat perlu waktu banyak (rata-rata 10-15 tahun) untuk penelitiannya dengan biaya sekitar US $ 500 juta untuk setiap obat. Terhadap kebijakan FDA ini, pernah ada suatu petisi dari industri produk tumbuhan yang tergabung dalam
European-American Phytomedicine Coalition (EAPC) yang menyarankan agar FDA menetapkan status produk tumbuhan menjadi obat OTC dengan hanya mengkaji apa yang telah ditetapkan di Eropa.
Produk tumbuhan obat di Eropa dikenal dengan beberapa nama antara lain disebut
Phytomedicine, Plantmedicine, Phytopharmaca, Phytopharmaceutica, Vegetable Drug, Natural Remedies, Herbal Tea, Alternative Form of Treatment, Complementary Drug, dan nama resmi di Uni Eropa sejak November 1997 adalah
Herbal Medicinal Product.
Ada laporan bahwa masyarakat Eropa pada tahun 1986 membelanjakan uangnya untuk membeli produk tumbuhan obat dan suplemen makanan mencapai US $ 560 juta, dan 10 tahun kemudian (1996), dilaporkan bahwa penjualan tumbuhan obat di Uni Eropa mencapai US $ 7 Milyard, dengan penjualan paling tinggi di Jerman (US $ 3,5 Milyard), kemudian Perancis (US $ 1,8 Milyard), Italia (US $ 0,7 Milyard), UK (US $ 0,4 Milyard), Spanyol (US $ 0,3 Milyard), Belanda (US $ 0,1 Milyard), dan negara Uni Eropa lain (US $ 0,13 Milyard).
Pada tahun 1978, Menteri kesehatan Jerman membentuk apa yang disebut dengan "Commission E" suatu panel beranggotakan para pakar untuk mengevaluasi keamanan dan manfaat tumbuhan yang tersedia di apotek untuk penggunaan umum. Komisi mengkaji lebih dari 300 tumbuhan obat, dan hasil kajiannya dipublikasikan sejak 1983 oleh German Federal Health Agency (Federal Institute for Drugs and Medical Devices) dalam The German Federal Gazette yang sampai 1995 meliputi 380 monograf (254 disetujui, 126 ditolak) ditambah 81 harus direvisi. Monografi ini berisi panduan untuk masyarakat umum, praktisi kesehatan dan perusahaan yang membutuhkan untuk registrasi tumbuhan obat. Monografi ini antara lain berisi data terafi seperti penggunaan, kontraindikasi, efek samping, dan interaksi obat. Sebagai catatan sejak 1993, diinformasikan bahwa semua mahasiswa kedokteran di Jerman harus lulus ujian dalam fitoterapi sebagai prakondisi untuk praktek dokternya.
Suatu hal yang perlu dicatat dalam kaitannya dengan produk tumbuhan obat di Eropa, pada tahun 1986 dibentuk lembaga dengan nama ESCOP (
European Scientific Cooperative on Phytotheraphy) yang sejak 1997 telah menerbitkan monografi tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai standar tumbuhan untuk digunakan dalam kedokteran dan farmasi di negara anggotanya dan monografi ini dijadikan juga sebagai standard import tumbuhan obat atau tumbuhan aromatik dari negara lain. Organisasi masyarakat ilmiah seperti ESCOP ini (juga yang di Amerika Serikat seperti
American Botanical Council, Herb Research Foundation, American Herbal Product Association, American Herbalists Guild, ataupun lembaga pemerintah
Office of Dietary Supplement) bertujuan untuk memberi informasi yang seimbang tentang manfaat dan mudarat produk obat alami kepada masyarakat, meningkatkan status ilmiah produk obat alami, dan mengharmonisasikan status pengaturannya pada negara-negara anggotanya.
Di
Indonesia sendiri, potensi pasar produk tumbuhan obat, antara lain dapat dilihat dari jumlah perusahaan pembuat obat tradisional (OT) (yang kita tahu bahwa bahan baku OT utamanya adalah tumbuh-tumbuhan). Jumlah perusahaan ini dari tahun ketahun terus bertambah, data untuk IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional) sampai dengan 1990 yang mendapat ijin ada 259 buah, sampai tahun 1997 (masa awal krisis ekonomi) ada 458 buah, dan tahun 2000 (853 buah), 2003 (905 buah) dan akhir 2005 ada 1037 buah.
Sementara itu untuk IOT (Industri Obat Tradisional) sampai tahun 1996 (61 buah), tahun 1998 (79 buah), tahun 2000 (87 buah), 2003 (97 buah) dan akhir 2005 ada 129 buah. Jadi total IKOT dan IOT pada akhir 2005 ada 1166 buah. Disamping itu penyebaran industri OT ini tidak hanya berada atau terpusat di Pulau Jawa saja tapi sudah menyebar keseluruh propinsi. Hal yang lebih menarik lagi adalah suatu kenyataan bahwa industri farmasi yang selama ini memproduksi obat-obat dari senyawa sintesis yang digunakan dalam kedokteran formal, pada saat ini (terutama setelah krisis ekonomi 1998) ada kecenderungan mereka memproduksi juga produk-produk tumbuhan obat dan bahkan beberapa produknya sudah dipasarkan.
POTENSI HAYATI ALAM INDONESIA
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki luas hutan terbesar didunia, walaupun bukan urutan pertama dari ukuran luas, namun hutan Indonesia memiliki kelebihan yaitu selain cahaya matahari yang tersedia sepanjang tahun disertai curah hujan yang relatif tinggi, hutan Indonesia berada pada variasi geografi, topografi dan sejarah geologis yang dinamis sehingga membentuk berbagai macam formasi hutan, mulai dari
hutan pantai, hutan mangrove/payau, hutan rawa, hutan rawa gambut, hutan hujan dataran rendah,hutan hujan pegunungan bawah, hutan hujan pegunungan atas, hutan musim bawah, hutan musim tengah dan atas, hutan kerangas, hutan savana, hutan pada tanah kapur, hutan pada batuan ultra basa, hutan riparian atau
tepi sungai, yang pada akhirnya menghasilkan tingkat keanekaragaman hayati tumbuhan yang tinggi, dan dunia mengakui bahwa hutan Indonesia memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan paling besar didunia. Ada laporan bahwa hutan tropik Indonesia memiliki lebih dari 30.000 jenis tumbuhan berbunga, dan ini merupakan suatu potensi yang luar biasa khususnya dilihat dari kaca mata kesehatan, sebagai sumber bahan obat-obatan. Sementara itu menurut Heyne, dari 171 suku tumbuhan tinggi yang mencangkup 2799 jenis tumbuhan berguna dilaporkan sebanyak 1306 jenis dari 153 suku dinyatakan sebagai tumbuhan obat, data ini diluar tumbuhan rendah, sementara itu PT Essai Indonesia melaporkan adanya 3689 jenis tumbuhan obat. Belum banyak diinformasikan adalah kekayaan hayati mikroorganisme dari tanah dan hutan Indonesia, dan inipun diyakini meliputi berbagai macam jenis mikroba.
Dari sisi lain, sekitar 62% (= 3,1 x 10
6 km
2 ) dari seluruh wilayah negara Indonesia tercinta ini merupakan lautan, yang terdiri dari, 10% lautan teritorial (jalur 12 mil), dan 90% adalah perairan pedalaman atau kepulauan. Berbeda dengan bahan hayati yang berasal dari daratan yang relatif telah banyak dikenal dan digunakan khususnya dalam kesehatan, untuk bahan hayati asal bahari boleh dikatakan masih relative sedikit yang diketahui, padahal dilaporkan bahwa lautan memiliki lebih dari 30.000 jenis ganggang, demikian juga dengan binatang bahari seperti kelompok
Echinodermata dilaporkan banyak sekali jenisnya. (Di Indonesia yang sudah tercatat untuk ganggang sampai awal tahun 1990 ada sekitar 800 jenis). Laporan penelitian aktivitas biologi bahan hayati bahari (termasuk tumbuhan laut dan binatang laut seperti
Echinodermata) menunjukkan juga aktivitas-aktivitas biologi sebagaimana diberikan oleh tumbuhan yang hidup didarat.
Keanekaragaman hayati (khususnya keanearagaman tumbuhan) tentunya memberikan juga keanekaragaman struktur kimia yang terkandung didalam tumbuhan tersebut, dan ini dapat memberikan konsekwensi logis pada keanekaragaman aktivitas biologinya, termasuk aktivitas farmakologi.
PERMASALAHAN
Jika melihat uraian potensi pasar dan potensi hayati alam Indonesia tadi, maka tidak salah kalau dikatakan bahwa Indonesia memiliki prospek hayati (tumbuhan) yang besar khususnya untuk bidang kesehatan, tapi perlu diingat bahwa sumber daya alam yang melimpah tidak akan langgeng jika tidak dilola dengan baik. Adalah suatu kenyataan bahwa bahan baku yang digunakan sebagai tumbuhan obat di Indonesia sampai saat ini sebagian besar diperoleh dari tumbuhan liar, bukan tumbuhan hasil budidaya, dan pemanenan langsung tumbuhan liar yang melampaui batas kemampuan regenerasinya di alam nampaknya merupakan suatu faktor penting yang mengancam kelestarian tumbuhan obat. Dan perlu dicatat bahwa panen yang berlebihan ini pada dasarnya tidak terlepas dari permintaan pasar yang tinggi. Beberapa jenis tumbuhan yang telah dikatagorikan langka karena pemanenan berlebihan antara lain
Pimpinella pruatjan Molkenb. (purwoceng),
Alyxia reindwadtii Bl. (pulasari),
Strychnos ligustrina R.Br. (bidara laut),
Alstonia scholaris R.Br. (pule, lame),
Rauwalfia serpentina Benth. (pule pandak). Sebetulnya kelangkaan tersebut tidak hanya disebabkan oleh panen yang berlebihan tapi juga disebabkan faktor lain seperti perambahan hutan, perladangan berpindah, dan konversi lahan yang akibatnya hal ini dapat merusak habitat, atau juga karena eksploitasi hasil hutan kayu, yang kebetulan jenis kayu tersebut masuk tumbuhan obat.
Tumbuhan dalam dunia kesehatan khususnya dalam farmasi, pada dasarnya bisa digunakan sebagai (1) sumber simplisia atau ekstrak yang dapat langsung digunakan untuk bermacam tujuan (2) sumber senyawa aktif atau model senyawa untuk sintesis, (3) diambil senyawanya sebagai prazat untuk membuat senyawa semisintesis dan (4) kandungan senyawa kimianya digunakan sebagai bahan pembantu. Prioritas mana yang akan dipilih harus benar-benar dipertimbangkan dengan matang dan tidak tertutup kemungkinan untuk keempatnya kita lakukan.
Simplisia dan atau ekstrak, potensi pasarnya seperti duraikan diatas sangat besar dan juga dari segi biaya relatif kecil, begitupun teknologi yang dibutuhkan tidak terlalu sulit, namun ada hal yang penting disini adalah standardisasi dari mulai bahan baku (tumbuhan), proses, sampai dengan produknya, dan untuk mencapai itu mau tidak mau penggunaan tumbuhan hasil budidaya yang sesuai GAP sudah merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.
Untuk aktivitas farmakologi apa yang dipilih atau sebagai obat apa yang akan diproduksi, inipun harus dipertimbangkan dengan baik, harus mempertimbangkan keadaan pasar artinya kalau dipasar sudah ada obatnya yang banyak dan murah untuk penyakit tertentu, maka jangan memproduksi produk untuk penyakit tersebut kecuali kalau memang potensinya mengungguli produk yang ada, dan tentunya juga mempertimbang pola penyakit yang ada adalah sangat bijak.
Jika untuk digunakan sebagai sumber senyawa aktif, model struktur, ataupun sebagai prazat tentunya biayanya akan relatif lebih besar, namun walaupun mahal hal ini harus juga ada yang melakukan, terutama dalam rangka pengembangan SDM yang kita miliki dan sekaligus pengembangan keilmuan.
Prioritas mana yang dipilih hendaknya bisa dilakukan dan jangan sampai setiap ganti pengambilan keputusan, kebijakan juga berubah, sebagaimana hal ini sering terjadi.
Daftar Pustaka.
- Blumenthal M., Ed., et al., The Complete German Commission E Monographs, Therapeutic Guide To Herbal Medicines, American Botanical Council, Austin, 1998
- De Smet P.A.G.M., Ed., et al., Adverse Effects of Herbal Drugs 1, Springer-Verlag, Berlin, 1992.
- Time, June 10, 2002
- EU Strategic Marketing Guide 2000, Natural Ingredients For Pharmaceutical, Volume 1, CBI, June 2000
- Zuhud E.A.M, dkk., Hutan Tropika Indonesia Sebagai Sumber Keanekaragaman Plasma Nuftah Tumbuhan Obat, Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropik Indonesia, IPB-LATIN, Bogor, 1994.
- Nontji A., Laut Nusantara, Djambatan, Jakarta, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar